Jokowi Minta Turunkan Harga Tes PCR Jadi Rp 450-550 Rb, Realistiskah Harganya?

Tes Acak di Bandara Supadio Pontianak
Ilustrasi Tes Swab. Foto: IDNNews.id

Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara terang-terangan meminta agar harga tes polymerase chain reaction (PCR) diturunkan jadi Rp 450-500 ribu. Menurutnya, penurunan itu dilakukan untuk memperbanyak dan mempercepat testing Covid-19 di Indonesia, sudah realistiskah PCR di kisaran harga itu? Ini pendapat Epidemiolog!

Sebelumnya, Jokowi telah berbicara dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk meminta harga PCR turun. Permintaan yang disampaikan Jokowi ke publik hari ini (15/8) diumumkan olehnya lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Menurutnya, salah satu cara untuk untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR.

“Salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR,” terangnya.

Jokowi meminta agar biaya tes PCR turun di kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.

“Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini. Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp 450.000 sampai Rp 550.000,” tambah Jokowi.

Kemudian, Jokowi juga meminta hasil tes PCR dapat diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1 x 24 jam.

“Saya meminta agar tes PCR bisa diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1×24 jam,” pinta Jokowi untuk mempercepat testing Covid-19.

Pendapat Epidemiolog Terkait Penurunan Harga Tes PCR

Sejak 5 Oktober 2020 lalu, Kementerian Kesehatan dalam surat edarannya, menetapkan bahwa batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR adalah Rp 900.000.

Menurut Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman, harga tes PCR yang diminta Jokowi terbilang cukup realistis untuk masyarakat Indonesia. Harga tersebut juga tidak bisa memasakkan untuk bisa mematok harga seperti di India membanderol harga sebesar Rp 96.000 hingga Rp 150.000 untuk sekali tes PCR.

“Karena kita gak bisa memaksakan untuk menyamakan harga dengan India, berat,” jelas Dicky, dikutip dari pemberitaan CNBC Indonesia, Minggu (15/8/2021).

Pasalnya, menurut hemat Dicky, reagen atau komponen lainnya yang dibuatkan di Indonesia membutuhkan riset, science, pengembangan, dan investasi.

“Jadi gak bisa langsung sama seperti India,” tegasnya.

Ia menuturkan bahwa beberapa negara maju juga ada yang lebih mahal lagi biaya tesnya, tergantu pada komponen pembuatannya.

“Negara maju pun ada yang lebih mahal, karena komponen jasanya lebih besar, dan apa yang disampaikan pemerintah, kisaran ini sudah cukup realistis,” tuturnya.

Menurut Dicky yang harus menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah implementasinya di lapangan. Karena disaat pemerintah sudah memasang tarif batasan tertinggi Rp 900.000 saja, banyak lembaga kesehatan yang kemudian menaruh harga di atas yang sudah ditetapkan pemerintah.

Implementasi pelaksanaan tes PCR di berbagai fasilitas kesehatan, kata Dicky harus dimonitor oleh dinas kesehatan (Dinkes) dengan ketat. Jika ada yang melanggar dari ketentuan pemerintah, kata Dicky sebaiknya diberi sanksi.

Exit mobile version