Raja Charles III, Ratu Camilla, dan Paus Leo XIV (Foto : Instagram/theroyalfamily)
PONTIANAK INFORMASI, Internasional – Kunjungan kenegaraan Raja Charles III dan Ratu Camilla ke Vatikan pada Oktober 2025 menjadi sorotan dunia, tidak hanya karena menandai momen persatuan Gereja Anglikan dan Katolik yang pertama dalam hampir lima abad, tetapi juga karena fokus pembicaraan yang melampaui isu keagamaan semata. Pertemuan dengan Paus Leo XIV ini, yang merupakan Paus asal Amerika Serikat pertama, menunjukkan era baru dalam hubungan diplomatik dan ekumenis antara Takhta Suci dan Monarki Inggris. Kunjungan ini berlangsung di tengah isu-isu global mendesak yang membutuhkan suara dan tindakan bersama.
Fokus utama yang dibahas oleh kedua pemimpin, selain perihal rekonsiliasi keagamaan, adalah isu lingkungan dan perubahan iklim. Raja Charles III, yang telah lama dikenal sebagai aktivis lingkungan, secara khusus meminta untuk menyertakan sesi yang berpusat pada “perawatan ciptaan” dalam jadwal kunjungan. Sesi ini diadakan di Sala Regia, di mana Paus Leo XIV dan Raja Charles III bertemu dengan para pemimpin gereja, tokoh bisnis, aktivis lingkungan, dan pakar PBB, termasuk perwakilan dari Gerakan Laudato Si’. Isu ini juga ditekankan dalam konteks peringatan 10 tahun ensiklik lingkungan Paus Fransiskus, Laudato Si’, yang turut menginspirasi dialog ini, seperti dilansir dari media Vatican News.
Pertemuan pribadi antara Paus dan Raja, yang juga didampingi oleh Ratu Camilla, menjadi platform penting untuk membahas peningkatan dialog lintas agama dan penguatan solidaritas di tengah tantangan dunia. Kunjungan ini bertepatan dengan momentum penting dalam hubungan Anglikan-Katolik, termasuk pengumuman bahwa Paus Leo XIV akan mendeklarasikan Santo John Henry Newman sebagai Doktor Gereja pada 1 November. Newman adalah tokoh sentral yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mendekatkan kedua gereja, menunjukkan komitmen kuat dari kedua belah pihak untuk melanjutkan upaya rekonsiliasi.
Dalam serangkaian acara kunjungan, Raja Charles III juga dianugerahi gelar kehormatan ‘Konfrater Kerajaan’ (Royal Confrater) di Basilika Santo Paulus di Luar Tembok. Gelar simbolis ini merupakan pengakuan atas upaya raja dalam mempromosikan dialog antaragama serta penguatan persatuan masyarakat, sekaligus membangkitkan kembali tradisi kuno ketika raja-raja Anglo-Saxon menjadi pelindung situs suci tersebut. Upacara penganugerahan ini dilakukan secara ekumenis, semakin menegaskan semangat persatuan.
Aspek budaya juga menonjol dalam kunjungan ini. Raja dan Ratu Charles secara khusus mengundang Lay Clerks dari Kapel St. George di Kastil Windsor dan Children of the Chapel Royal of St. James’ Palace untuk bergabung dengan Paduan Suara Kapel Sistina. Kolaborasi paduan suara dari tradisi Anglikan dan Katolik ini melambangkan harmoni yang ingin dicapai, memperdengarkan nyanyian yang menghubungkan tradisi, termasuk nyanyian karya Santo Ambrosius yang dinyanyikan dalam terjemahan bahasa Inggris oleh Santo John Henry Newman, sebagaimana dilaporkan oleh Pena Katolik.
Para pengamat internasional menilai pertemuan ini sebagai langkah signifikan dalam hubungan Kerajaan Inggris dan Takhta Suci. William Gibson, profesor sejarah gereja di Universitas Oxford Brookes, menyebutnya sebagai “peristiwa bersejarah”, mengingat secara hukum penguasa Inggris haruslah seorang Protestan. Fakta bahwa Raja Charles III, sebagai Gubernur Tertinggi Gereja Inggris, melakukan kunjungan kenegaraan dengan agenda ekumenis dan lingkungan yang mendalam menunjukkan pengakuan timbal balik dan kesediaan untuk bekerja sama dalam isu-isu kemanusiaan dan planet.
