PONTIANAK INFORMASI, POLITIK – Yusril Ihza Mahendra, seorang pakar hukum tata negara, mengakui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor 90 terkait syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden problematik. Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di gedung MK, Jakarta, Selasa.
Hal ini dipicu oleh pernyataan Kuasa hukum tim Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Luthfi Yazid, yang mengungkit pernyataan Yusril sebelumnya bahwa putusan tersebut cacat hukum. Menurut Luthfi, Yusril bahkan pernah berandai-andai tidak akan maju sebagai cawapres jika menjadi Gibran Rakabuming Raka, karena putusan tersebut mengandung penyelundupan hukum.
“Ada seorang pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, dia di dalam wawancara dan di berbagai media, dia mengatakan bahwa putusan nomor 90 MK itu cacat hukum secara serius. Bahkan mengandung penyelundupan hukum. Karena itu dia berdampak panjang putusan MK itu,” kata Luthfi dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di gedung MK, Jakarta, Selasa (2/4).
“Sebab, itu saudara Yusril mengatakan, ‘andaikan saya Gibran, maka saya akan meminta kepada dia untuk tidak maju terus pencawapresannya’. Saya mohon tanggapan dari Saudara,” lanjutnya.
Namun, Yusril mengoreksi pernyataan Luthfi di persidangan, menyatakan bahwa pernyataan tersebut kurang logis. Dia menegaskan bahwa jika dia menjadi Gibran, dia tidak akan maju terus pencawapresannya karena mengetahui keproblematisan putusan MK tersebut.
“Saya ingin mengklarifikasi ucapan Luthfi. Kata-kata yang mengatakan, ‘andaikan saya Gibran saya akan minta kepada dia’, adalah kata-kata yang tidak logis. ‘Andai kata saya Gibran, saya akan bersikap seperti ini’, itu baru logis,” ucap Yusril.
“Jadi yang saya ucapkan adalah andai kata saya Gibran, saya memilih saya tidak akan maju karena saya tahu bahwa putusan ini problematik,” tambahnya.
Yusril mengakui bahwa putusan MK tersebut memiliki banyak masalah. Meskipun dalam sudut pandang filsafat moral dikategorikan cacat etik, Yusril menegaskan bahwa putusan tersebut harus tetap dipatuhi sebagai bentuk kepastian hukum.
“Bahwa betul putusan 90 itu problematik kalau dilihat dari filsafat hukum, etik dan lain-lain. Tapi dari segi kepastian hukum, putusan 90 itu, jelas sekali,” kata Yusril. (ad)