PONTIANAK INFORMASI, INTERNASIONAL – Seorang remaja 17 tahun bernama Nahel ditembak mati oleh polisi Prancis setelah melanggar undang-undang lalu lintas dan menolak menepi di daerah pinggiran Paris, Nanterre, pada Selasa (27/6/23).
Terkait peristiwa itu, Ibu korban mengatakan bahwa penembakan yang mengakibatkan anaknya mati, ada hubungannya dengan rasialisme.
Mengutip Antara, ibu Nahel, Mounia, mengungkapkan bahwa petugas polisi itu “melihat wajah seorang Arab, seorang anak kecil”, dan “ingin mengambil nyawanya”.
Dalam kejadian tersebut, Mounia tidak ingin menyalahkan institusi, namun dirinya secara tegas menuntut oknum polisi yang menembak anaknya.
“Saya tidak menyalahkan (institusi) polisi. Saya menyalahkan satu orang: orang yang merenggut nyawa anak saya,” ujarnya.
Sementara itu, Jaksa mengatakan bahwa petugas yang menembak mati Nahel itu telah didakwa dengan pembunuhan secara disengaja dan ditahan dalam penahanan pra-sidang.
Pengacara pelaku, Laurent-Franck Lienard, mengungkapkan bahwa kliennya “hancur” dan meminta “pengampunan dari keluarga korban.”
“Dia tidak bangun pada pagi hari untuk membunuh orang. Dia tidak ingin membunuh,” katanya.
Pasca kejadian penembakan tersebut, kerusuhan di Prancis tak bisa dihindarkan.
Bahkan dalam video yang beredar, sejumlah orang mencoba membakar balai kota di Clichy di daerah pinggiran kota Paris. Polisi pun terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa.
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin melalui akun Twitter-nya mengatakan bahwa sedikitnya 667 orang ditangkap di seluruh Prancis dalam semalam saat bentrok antara polisi dan perusuh yang terjadi di beberapa kota, serta pembakaran toko dan bank, dan perusakan bus. (ad)