PONTIANAK INFORMASI, INTERNASIONAL – Pada Rabu malam lalu, Tentara Niger muncul di televisi nasional dan mengumumkan kudeta terhadap Presiden Mohamed Bazoum. Mereka menyebut diri mereka sebagai Dewan Nasional untuk Perlindungan Tanah Air (CLSP) dan membacakan pernyataan kudeta dalam sebuah video yang sudah direkam, kemudian disiarkan melalui televisi pemerintah ORTN.
Alasan di balik kudeta ini, menurut pernyataan Kolonel Mayor Amadou Abdramane, adalah situasi keamanan yang semakin memburuk dan krisis sosial ekonomi yang dialami oleh negara tersebut. Akibatnya, Presiden Bazoum digulingkan dan konstitusi dibekukan. Dalam upaya untuk mengatasi situasi tersebut, jam malam diberlakukan mulai pukul 10 malam hingga 5 pagi, dan semua perbatasan ditutup.
Presiden Bazoum sendiri ditahan pada Rabu pagi oleh unsur pasukan pengamanan presiden. Namun, dalam tanggapan terhadap kudeta ini, sebagian besar rakyat Niger turun ke jalan untuk mencegah kudeta dan menyerukan pembebasan Presiden Bazoum.
Beberapa pihak menyebutkan bahwa Jenderal Omar Tchiani, yang telah menjabat sebagai kepala pasukan pengamanan presiden selama sekitar 10 tahun, diduga berada di balik kudeta ini. Kabarnya, Presiden Bazoum berencana untuk memberhentikan Tchiani yang sebelumnya juga menjabat di bawah presiden sebelumnya, Mahamadou Issoufou.
Reaksi internasional terhadap kudeta ini telah mengalir. Uni Afrika, Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS), Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Prancis menyatakan kecaman atas tindakan militer yang terjadi di Niger dan menyerukan pembebasan Presiden Bazoum. Presiden Bazoum sendiri terpilih secara demokratis pada bulan April 2021.
Sejarah Niger mencatat beberapa upaya kudeta sejak merdeka dari Prancis pada tahun 1960. Kudeta pertamanya terjadi pada tahun 1964, diikuti oleh kudeta militer pada tahun 1974 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Seyni Kountche.
Selanjutnya, kolonel Ibrahim Bare Mainassara melakukan kudeta pada tahun 1996 yang mengakibatkan kematian Presiden Mahamane Ousmane yang juga terpilih secara demokratis. Niger kembali ke pemerintahan sipil pada tahun 1999 dan kemudian mengalami masa jabatan Presiden Mamadou Tandja yang berakhir pada tahun 2010 dengan intervensi militer. Pemilihan demokratis pada tahun 2011 membawa Presiden Mahamadou Issoufou ke tampuk kekuasaan. Pada tahun 2020, negara ini berhasil menghindari kudeta meskipun suasana politik yang tegang.
Saat ini, tindakan militer yang dilakukan oleh pasukan elit pengamanan presiden telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam di antara warga Niger, dan situasi politik dan keamanan di negara ini menjadi sorotan bagi banyak pihak. (ad)