PONTIANAK INFORMASI, KUBU RAYA – Sengketa sebagian lahan di area Qubu Resort, Kabupaten Kubu Raya menuai kerugian bagi pihak manajemen. Pasalnya, sengketa berbuntut pada serangkaian aksi anarkis yang dilakukan oleh Flavia Flora, salah satu pihak yang mengklaim sebagian lahan itu.
Manager Qubu Resort, Uray Heny mengatakan aksi anarkis dan teror mengganggu aktivitas operasional Qubu Resort.
Padahal kata Heny, persoalan itu mestinya dapat dituntaskan melalui jalur hukum, bukan dengan memicu keresahan dan teror.
Heny menerangkan, saat ini manajemen Qubu Resort telah membuat laporan polisi. Melaporkan terduga pelaku Flora soal dugaan perusakan dan pencemaran nama baik.
“Kami tidak berkaitan secara langsung dengan objek tanah yang disengketakan,” ujarnya, kemarin.
Menurut Heny, lokasi tanah yang disengketakan berada di bagian lain kawasan. Bukan yang kini berdiri usaha hotel dan gerbang yang menjadi sasaran aksi anarkis.
“Aktivitas usaha seperti hotel yang selalu mereka ganggu. Selalu mengancam karena mereka merasa tidak ada kejelasan soal tanah tersebut,” katanya.
Heny menerangkan, awalnya manajemen telah menyambut baik dengan melakukan komunikasi. Heny juga telah menyampaikan bahwa manajemen Qubu Resort tidak berkaitan dengan objek tanah yang berada di bagian belakang kawasan.
Selain itu, persoalan yang menyangkut sengketa tanah juga sudah ditangani kuasa hukum. Heny meyakini kepemilikan tanah tersebut telah sesuai melalui proses jual beli sah.
“Kalau pun masih ngotot, harusnya tempuh jalur hukum di pengadilan, bukan dengan melakukan anarkis dan perusakan,” ucap Heny.
Heny mencatat sejumlah aksi anarkis yang dilakukan terduga pelaku Flora, di antaranya adalah melemparkan botol dan pecahan kaca di depan pintu hotel dan menghalangi pengunjung masuk hotel.
Kemudian, memarkir mobil di gerbang pintu masuk Qubu Resort serta hendak membongkar bongkahan batu di depan pintu masuk.
“Jumlah kerugian kami dalam aksi ini sudah tak terhitung besarannya, sekarang orang jadi takut mau ke Qubu Resort,” ujar Heny.
Heny menyatakan pihaknya telah menjadi korban dari aksi teror, pengancaman, serta premanisme yang dilakukan oleh Flora.
“Saya sampaikan bahwa kejadian ini cukup panjang. Kita sangat menyesalkan, kejadian ini bisa terjadi di Qubu Resort dengan oknum-oknum, atau orang-orang yang tidak bertanggungjawab atas keadaan yang terjadi selama dua bulan ini,” ucap Heny.
Heny mengatakan, Qubu Resort sangat merasa dirugikan atas aksi anarkis tersebut. Banyak wisatawan akhirnya takut untuk datang.
“Mereka selalu bertanya tentang berita yang tersebar, masuk Qubu Resort aman gak? Inikan menjatuhkan brand image yang telah kami bangun bertahun-tahun,” kesal Heny.
Heny pun berharap, pengaduan Polres Kubu Raya mendapatkan respons cepat. Karena pihaknya sangat diresahkan atas apa yang terjadi.
“Kami patuh dengan hukum, tapi hukum harus dilakukan secara cepat, jangan sampai ada kesan pembiaran, kami minta pihak kepolisian memproses laporan kami,” tutup Heny.
Sementara itu, Flavia Flora membenarkan jika telah dilaporkan oleh pihak Qubu Resort. Menurutnya laporan itu sah-sah saja.
“Tapi saya juga harus melihat keabsahannya. Karena Ibu Heny ini sebagai manajemen penanggungjawab, kan dia ada atasan, sementara dia-kan digaji, kalau melaporkan ke polisi itukan mestinya orang yang dirugikan, sifatnya orang yang dirugikan,” kata Flora.
Lanjut Flora, karena tidak ada kejelasan status Heny ini, ia pun menyampaikan kepada pihak kepolisian, bahwa dia tidak dapat memberikan keterangan.
“Bukan saya tidak mau memberikan keterangan, tetapi harus jelas. Mana surat kuasa dari owner Qubu Resort, atau keputusan dewan direksi menyuruh Ibu Heny melaporkan saya. Itu yang saya minta dengan pihak kepolisian,” ucap Flora.
Flora pun menjelaskan, dirinya pertama kali dipanggil lewat sambungan telepon, ia pun memastikan akan datang memenuhi panggilan tersebut.
“Saya kooperatif, dua kali datang, tapi mereka (polisi) tidak ada, dengan alasan sedang pengamanan presiden. Kemudian Polisi buat surat panggilan, saya datang, tapi karena tidak ada surat legal dari Bu Heny, saya tidak mau berikan keterangan banyak,” ujar Flora.
Flora merasa dikotakkan secara hukum. Padahal menurutnya seharusnya yang benar adalah memediasi kedua belah pihak.
“Yang menciptakan barang inikan bukan kami, tapi pihak-pihak terkait yang mencari “keuntungan”. Menyuruh masyarakat sedikit-sedikit ke pengadilan. Itu sebenarnya kan tidak perlu. Apakah dengan cara ini bijak. Besok-besok ada sengketa ke pengadilan lagi,” terangnya. (ap)