PONTIANAK INFORMASI, NASIONAL – Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru sudah disahkan jadi undang-undang oleh DPR RI rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Hati-hati jaga lisan, sebab dalam UU KUHP terdapat pasal tentang tindak pidana kehormatan dan fitnah yang dapat menjebloskan pelaku ke penjara atau denda hingga ratusan juta rupiah.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 433 dan 434. Orang yang menyerang kehormatan dengan lisannya terancam pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda Rp10 juta.
“Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10.000.000),” demikian bunyi Pasal 433 Ayat (1), diakses dari laman https://peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html, Rabu (7/12/2022).
Selanjutnya dalam Pasal 433 Ayat (2), jika pelaku pencemaran kehormatan melakukannya melalui tulisan atau gambar yang dipertunjukkan atau ditempelkan di tempat umum, maka terancam penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. Adapun pidana dendanya, paling banyak kategori III (Rp 50.000.000).
Namun jangan khawatir, dalam Pasal 433 ayat (3) disebutkan bahwa perbuatan pencemaran kehormatan seseorang seperti diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak bisa dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.
Lebih lanjut, ancaman pidana fitnah tercantum dalam Pasal 434.
“Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200.000.000),” demikian isi Pasal 434 ayat (1) RKUHP tentang tindak pidana fitnah.
Menurut Pasal 434 Ayat (2), pembuktian terhadap tuduhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam 2 hal saja diantaranya:
- Hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
- Atau pejabat dituduh melakukan suatu hal dalam menjalankan tugas jabatannya.
“Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan jika hal yang dituduhkan tersebut hanya dapat dituntut atas pengaduan, sedangkan pengaduan tidak diajukan,” pertegas isi Pasal 434 ayat (3) KUHP.