Foto: KOMPAS.com/HARYANTI PUSPA SARI
PONTIANAK INFORMASI, Nasional – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Riau Abdul Wahid dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November 2025. Penangkapan Abdul Wahid bersama sembilan orang lainnya terkait dugaan pemerasan dan pungutan liar proyek pembangunan jalan dan jembatan di Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Dalam OTT tersebut, KPK juga menyita uang tunai senilai sekitar Rp 1,6 miliar dalam berbagai bentuk pecahan rupiah, dolar AS, dan poundsterling. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan uang tersebut diduga merupakan hasil setoran wajib dari proyek-proyek Pemprov Riau yang menjadi bagian dari mekanisme pemerasan terstruktur di lingkungan Dinas PUPR Riau. “Ini terkait dengan penahanan anggaran di Dinas PUPR, di mana terdapat semacam jatah preman yang ditetapkan untuk kepala daerah,” ungkap Budi, dilansir oleh Kompas.com.
Abdul Wahid merupakan Gubernur Riau periode 2024-2029 dan menjadi gubernur keempat di Riau yang terjerat kasus korupsi. Pendahulunya seperti Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun juga pernah ditangkap KPK. Penangkapan Abdul Wahid menambah daftar kelam praktik pemberantasan korupsi di Provinsi Riau.
Dalam operasi tersebut, selain Abdul Wahid, KPK juga menangkap pejabat penting di lingkungan Pemprov Riau, termasuk Kepala dan Sekretaris Dinas PUPR dan staf ahli gubernur. Dari total sepuluh orang yang diamankan, beberapa sudah diidentifikasi seperti Arief Setiawan Kepala Dinas PUPR, Ferry Yunanda Sekretaris Dinas, serta beberapa pihak swasta yang memiliki kedekatan dengan Gubernur Abdul Wahid.
KPK sampai saat ini masih melakukan pemeriksaan intensif terhadap para pihak yang ditangkap. Dalam waktu 1×24 jam setelah OTT, KPK akan menentukan status hukum mereka, apakah akan dinaikkan ke tingkat tersangka atau tidak. Pengumuman lengkap terkait tersangka dan konstruksi kasus direncanakan akan disampaikan KPK dalam konferensi pers terpisah.
Penangkapan ini menjadi sorotan masyarakat dan pengamat antikorupsi karena mencerminkan betapa rapuhnya tata kelola pemerintahan di Riau, yang seharusnya menjadi pelindung dan pelayan masyarakat. Praktik pemerasan di sektor pembangunan daerah merugikan keuangan negara dan memperlambat kemajuan daerah itu sendiri.
Masyarakat dan pemerintah provinsi diharapkan memberikan perhatian dan memperbaiki sistem pengawasan sehingga kasus serupa tidak terulang. KPK juga mengimbau agar pemerintah daerah melakukan evaluasi dan perbaikan guna mencegah praktek buruk tersebut di masa depan.
