Foto: KOMPAS.com/Tria Sutrisna
PONTIANAK INFORMASI, Nasional – Sengketa tanah seluas 16,4 hektare milik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di kawasan Jalan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, Makassar, kembali memanas. Kasus ini melibatkan tiga pihak, yakni PT Hadji Kalla, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), dan satu pihak lain bernama Mulyono. Sengketa ini telah berlangsung puluhan tahun, namun baru mencuat ke publik belakangan ini.
Menurut keterangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, pengadilan telah mengeksekusi lahan tersebut tanpa melalui proses constatering atau pemeriksaan lapangan yang semestinya. “Tiba-tiba dieksekusi dan proses eksekusinya itu belum melalui proses constatering,” kata Nusron yang dilansir dari CNBC Indonesia.
Jusuf Kalla sendiri turun langsung ke lokasi untuk meninjau kondisi tanah miliknya yang diduga telah dikuasai pihak lain. JK menegaskan, “Padahal ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini (lokasi) kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang (masuk) Makassar,” ujarnya. JK menuding adanya praktik mafia tanah dalam upaya penguasaan lahan miliknya.
Kementerian ATR/BPN menyebutkan bahwa sengketa melibatkan dua jenis dasar hak atas tanah yang berbeda. Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla diterbitkan pada 1996 dan berlaku hingga 2036. Sementara itu, PT GMTD memiliki Hak Pengelolaan (HPL) berdasarkan kebijakan pemerintah daerah sejak tahun 1990-an.
Ketegangan ini semakin diperkeruh dengan klaim PT GMTD yang menyatakan eksekusi lahan dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sementara pihak PT Hadji Kalla menegaskan dokumen mereka sah dan menganggap klaim GMTD tidak berdasar.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan figur nasional dan menunjukkan betapa seriusnya masalah mafia tanah yang mengancam hak milik warga, bahkan tokoh penting negara sekalipun. Jusuf Kalla menyerukan pentingnya memberantas mafia tanah demi melindungi hak masyarakat yang sah.
Sengketa ini belum menunjukkan titik temu, dan pihak berwenang Kementerian ATR/BPN terus melakukan langkah klarifikasi dengan pengadilan terkait prosedur eksekusi yang terjadi. Pemerintah menegaskan komitmen untuk menyelesaikan sengketa ini secara transparan dan adil untuk semua pihak yang bersengketa.
