PONTIANAK INFORMASI, KETAPANG – Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) menyuarakan kebingungan mereka terkait penetapan tersangka tujuh orang pengurus dan anggota SBSI Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, oleh Polres Ketapang. Penetapan tersangka ini terjadi setelah aksi unjuk rasa buruh di PT Swadaya Mukti Prakarsa (SMP) yang berlangsung pada 2 dan 3 Oktober 2023.
“Ada sembilan orang pengurus dan anggota SBSI Ketapang yang dipanggil sebagai saksi dan prosesnya kurang dari 24 jam tujuh orang ditetapkan tersangka, sungguh luar biasa,” kata Sekretaris Jendral DPP K-SBSI, Hendrik Hutagalung di Pontianak, Minggu.
Hendrik juga menyuarakan pertanyaan terkait pasal-pasal yang dituduhkan kepada para tersangka. Menurutnya, aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh pada saat itu adalah bagian dari upaya menuntut hak-hak mereka. Aksi tersebut berlangsung damai tanpa tindakan anarkis.
Dalam unjuk rasa tersebut, buruh menyoroti beberapa tuntutan penting. Pertama, mereka menuntut perubahan peraturan kerja terkait basis/target hasil kerja pemanen sawit. Tuntutan ini muncul karena adanya perubahan yang dinilai memberatkan buruh dengan menambahkan tugas memotong pelepah dan membersihkan piringan pokok sawit.
Tuntutan kedua terkait perubahan absensi kerja yang kini menggunakan aplikasi android dengan scan wajah, yang dianggap buruh merugikan mereka. Selanjutnya, buruh menuntut bantuan subsidi pembelian beras yang dinilai tidak merata, serta cuti haid bagi buruh perempuan.
Tuntutan lainnya termasuk pengadaan air bersih, pengadaan bus sekolah, pelayanan kesehatan di klinik perusahaan, dan kartu kepesertaan BPJS ketenagakerjaan bagi buruh yang telah lama bekerja atau yang baru bekerja.
Kuasa Hukum para buruh/pekerja PT SMP, Denny Kurnia P Utama, menyesalkan tindakan Polres Ketapang yang memanggil pengurus SBSI Ketapang sebagai saksi dengan dasar laporan polisi Nomor : LP/B/193/X/2023/SPKT/POLRES KETAPANG/POLDA KALBAR tertanggal 03 Oktober 2023, dan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/268/X/RES.1.24./2023/RESKRIM-I tertanggal 02 Oktober 2023.
“Sementara pada tanggal tersebut aksi mogok kerja buruh/pekerja baru dilaksanakan tanggal 2 dan 3 Oktober 2023 dan surat perintah penyidikan sudah ada,” katanya.
Atas kejadian ini, pihak kuasa hukum berencana untuk melaporkan kasus ini ke berbagai instansi, termasuk Komisi III DPR RI, Komnas HAM, Kapolri, Kompolnas, ILO, dan RSPO Denhaag Belanda. Mereka juga merencanakan aksi mogok kerja selanjutnya pada 4 hingga 6 Desember 2023, serta aksi solidaritas dan soliditas se-Indonesia. Pihak buruh merujuk pada prinsip kebebasan berserikat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU 21 Tahun 2000, Konvensi ILO No 87 dan Konvensi ILO No. 98, UUK 13 Tahun 2003, dan UU 39 tahun 1999. (ad)