
Kepala Deputi Hukum & Perundang-undangan FIS, Aditya Chaniago (kanan). (Dok. Istimewa)
PONTIANAKINFORMASI.CO.ID, PONTIANAK – Sengketa lahan seluas 4 hektare di Jalan Perintis Kemerdekaan, Pontianak Timur, kembali mencuat. Dewan Pimpinan Pusat Formasi Indonesia Satu (DPP FIS), selaku kuasa hukum ahli waris, menyatakan akan menggugat Dana Pensiun (Dapen) Bank Kalbar atas dugaan perolehan lahan menggunakan sertifikat bermasalah.
Langkah hukum ini diambil setelah ahli waris pemilik tanah, menemukan bahwa lahan tersebut telah bersertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama Dapen Bank Kalbar.
Aditya Chaniago, Kepala Deputi Hukum & Perundang-undangan FIS, menjelaskan bahwa ahli waris telah kehilangan kendali atas tanah tersebut selama lebih dari 40 tahun.
“ahli waris ini selama 40 tahun mereka tidak dapat menguasai tanah yang dimiliki. Tidak bisa memanfaatkan tanah yang dimiliki. alasanya adalah sebelum tanah ini diatasnamai oleh Dapen Bank Kalbar, terbit sertifikat palsu dan pada akhirnya bermasalah,” ujar Aditya dalam konferensi pers, Selasa (7/5).
Aditya mengungkapkan Investigasi menunjukkan bahwa alas hak penerbitan sertifikat awal, yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 46 Tahun 1983, diduga menggunakan Akta Jual Beli (AJB) palsu. Hasil forensik dari laboratorium kepolisian membuktikan bahwa AJB tersebut telah dipalsukan.
“Kami sudah mengadukan kasus ini ke Polresta Pontianak dan prosesnya masih berjalan. Kami juga berencana melakukan gugatan perdata kepada Dapen Bank Kalbar, karena sebagai lembaga pengelola dana investasi, mereka harus bertanggung jawab atas perolehan tanah tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan, SHGB Nomor 107 yang kini tercatat atas nama Dapen, diduga berasal dari sertifikat bermasalah yang sebelumnya sempat disita dalam proses penyidikan. Anehnya, meskipun telah ada temuan pemalsuan, BPN tetap memproses pemecahan dan peralihan hak atas tanah itu.
Aditya juga menyoroti keterlibatan dua pegawai Bank Kalbar dalam proses peralihan hak atas tanah tersebut.
“Kami menduga tanah ini sempat dimiliki secara pribadi oleh dua pegawai Bank Kalbar sebelum akhirnya dijual kepada Dapen pada 2021. Kami akan mendalami asal-usul dana pembelian tersebut,” ujarnya.
Debby Yasman Adiputra, S.H., selaku Deputi Hukum DPP FIS, menjelaskan kronolgis dan sejarah lahan klienya tersebut, bahwa lahan tersebut awalnya dimiliki oleh Syarif Zein berdasarkan surat tahun 1963.
Namun, kuasa pengurusan diberikan kepada Syarif Muksin, yang kemudian diduga memalsukan dokumen dan menerbitkan sertifikat atas namanya sendiri, lalu menjualnya kepada oknum pegawai Bank kalbar.
“Surat jual beli dipalsukan oleh Syarif husein, kemudian dijual kepada karyawan Bank Kalbar pada tahun 1983, setelah itu pada tahun 2000, Syarif Zein membuat pengaduan dan dibuktikan surat yang menjadi dasar jual beli Syarif Husein adalah palsu dan telah dibuktikan melalui Forensik,” ungkapnya.
“Namun pelaku utama, Syarif Muksin, telah meninggal dunia sehingga kasus pidananya dihentikan dengan SP3,” tambah Debby.
Pihak kuasa hukum menyebut telah melaporkan kasus ini sejak 2022 ke Polresta Pontianak, dan prosesnya masih berjalan. Ke depan, mereka juga akan mengajukan gugatan perdata serta membuka opsi pengaduan ke Kejaksaan Agung.
“Ini bukan sekadar soal sertifikat, tapi soal hak masyarakat kecil yang terpinggirkan oleh proses hukum dan administrasi yang tidak transparan,” kata Aditya.
Sampai saat ini kuasa hukum masih berusaha mengembalikan hak-hak klienya dan langkah hukum yang akan ditempuh salah satunya melakukan gugatan ke Dapen Bank Kalbar.