PONTIANAK INFORMASI, NASIONAL – Seorang pelajar berinisial AR (15) menikam temannya, MR (15), di dalam kelas. Peristiwa tersebut terjadi di SMA Negeri di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), pada Senin (31/7/2023).
Motif dari tindakan ini, menurut keterangan dari Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin, Kompol Thomas Afrian, adalah karena AR sering menjadi korban bullying dari MR dan teman-temannya.
“Pelaku menerangkan karena sakit hati kepada korban. Karena korban saat itu membully pelaku dan saat itu ada teman-temannya pelaku juga di situ. Dan memang pelaku dari dulu sering di-bully jadi bukan sekali dua kali,” kata Thomas seperti dikutip dari detikcom, Jumat (4/8/2023).
Korban, MR, mengalami luka serius akibat tusukan di beberapa bagian tubuhnya. Sebanyak empat tusukan terjadi, dua di perut dan dua lagi di lengan sebelah kanan. Korban langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan menjalani operasi untuk mengobati luka-lukanya. Beruntung, kondisi korban setelah operasi dilaporkan masih stabil.
Pelaku, AR, berhasil diamankan polisi tak jauh dari sekolah dengan membawa pisau yang masih berlumuran darah. Dia kini berada dalam penahanan dan sedang menjalani pemeriksaan intensif terkait kasus penganiayaan ini.
Menyikapi kasus ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) angkat bicara. Anggota KPAI, Diyah Puspitarini, menyatakan keprihatinan terhadap kejadian perundungan yang berujung pada kekerasan ini.
Diyah menekankan pentingnya penerapan restorative justice dalam penanganan kasus semacam ini.
“KPAI berharap bahwa proses seperti dalam UU Perlindungan Anak Pasal 59A agar anak dalam perlindungan khusus maka proses berjalan dengan cepat, mendapatkan pendampingan psikosial dan perlindungan hukum. Serta di Pasal 64 bahwa identitas anak juga harus dilindungi, baik anak korban atau anak yang berhadapan dengan hukum,” lanjut Diyah.
KPAI juga mengimbau agar pihak dinas terkait memberikan pendampingan psikologis bagi siswa-siswa yang menjadi saksi atau menyaksikan insiden ini. Upaya ini bertujuan untuk mencegah timbulnya trauma pada anak-anak tersebut sehingga mereka dapat kembali belajar dengan baik.
Dalam kasus seperti ini, KPAI juga menyoroti pentingnya menjaga kerahasiaan identitas anak-anak yang terlibat dalam kasus, baik sebagai korban maupun pelaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU Perlindungan Anak Pasal 64 yang menyatakan bahwa identitas anak dalam kasus hukum harus dilindungi.
KPAI berharap agar proses hukum yang berjalan juga memperhatikan kondisi psikologis anak, baik pelaku maupun korban. Jika pelaku memiliki masalah psikologis, perlu ada pendampingan yang tepat untuk membantu pemulihan kondisinya. (ad)