
PONTIANAKINFORMASI.CO.ID, NASIONAL – Pada tanggal 5 Maret 2025, nama Ahmad Dhani, musisi legendaris sekaligus anggota Komisi X DPR RI, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini bukan karena karya musiknya bersama Dewa 19, melainkan karena pernyataan dan saran kontroversial yang ia sampaikan dalam rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Dalam rapat tersebut, yang membahas proses naturalisasi tiga pemain keturunan—Emil Audero, Dean James, dan Joey Pelupessy—Ahmad Dhani mengeluarkan pendapat yang langsung memicu beragam reaksi di kalangan masyarakat, khususnya pecinta sepak bola Indonesia.
Kritik terhadap Pemain Naturalisasi Bule
Ahmad Dhani memulai pernyataannya dengan mendukung program naturalisasi yang digagas PSSI untuk merevolusi sepak bola Indonesia. Ia menyatakan bahkan tidak keberatan jika jumlah pemain naturalisasi mencapai 50 orang, selama itu membawa dampak positif bagi prestasi Timnas Indonesia. Namun, ia kemudian memberikan saran yang menuai kontroversi: mengurangi naturalisasi pemain dengan ciri fisik “bule”, seperti rambut pirang dan mata biru.
“Usul saya kurangilah pemain yang bule, dalam tanda kutip ras-nya bule, rambut pirang mata biru, buat Indonesia kurang enak dilihat,” ujar Dhani dalam rapat yang disiarkan melalui kanal YouTube TV Parlemen.
Menurutnya, pemain dengan karakteristik fisik tersebut tidak mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Ia menyarankan PSSI untuk mencari pemain keturunan dari ras yang “mirip” dengan mayoritas masyarakat Indonesia, seperti dari Korea atau Afrika, karena warna kulitnya dianggap lebih sesuai.
Pernyataan ini langsung memicu gelombang kritik di media sosial dan kalangan pengamat sepak bola. Banyak yang menilai pendapat Dhani bersifat rasis karena menitikberatkan pada aspek fisik dan warna kulit, bukan pada kemampuan atau kontribusi pemain untuk timnas. Sebagian netizen bahkan menyebut tidak relevan dengan tujuan utama naturalisasi, yaitu meningkatkan kualitas permainan Timnas Indonesia di kancah internasional.
Ide Out of the Box: Naturalisasi pemain Tua dan Perjodohan
Tak berhenti di situ, Ahmad Dhani pun melontarkan ide yang ia sebut “out of the box”. Ia merekomendasikan agar PSSI tidak hanya menaturalisasi pemain muda yang masih aktif bermain, tetapi juga mantan pemain bintang berusia di atas 40 tahun. Menurutnya, setelah dinaturalisasi, para pemain ini bisa dijodohkan dengan perempuan Indonesia untuk menghasilkan keturunan yang kelak menjadi pemain bola berbakat.
“Jadi pemain bola di atas 40 tahun yang mau dinaturalisasi, mungkin yang duda, kita carikan jodoh di Indonesia. Kita cari yang laki-laki saja, apalagi kalau Muslim kan bisa empat istrinya,” kata Dhani sambil disambut tawa oleh peserta rapat, termasuk Ketua Umum PSSI Erick Thohir dan Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga Taufik Hidayat.
Ia menambahkan bahwa pemain dari negara-negara Timur Tengah, seperti Arab, Aljazair, atau Maroko, bisa menjadi kandidat ideal untuk program ini, dengan harapan anak-anak mereka dapat diangkat menjadi pemain hebat yang lahir sebagai warga negara Indonesia asli.
Saran ini, meskipun disampaikan dengan nada bercanda, kembali menuai kritik tajam. Banyak yang menilai ide tersebut tidak realistis dan bahkan memuaskan perempuan Indonesia dengan tujuan mereka hanya sebagai “alat” untuk menciptakan generasi pemain bola. Netizen di platform X pun ramai berkomentar, dengan beberapa menyebutnya sebagai “imajinasi pembohong” yang tidak pantas diucapkan oleh seorang anggota DPR.
Reaksi Publik dan Konteks Naturalisasi Timnas
Rapat kerja tersebut sendiri berakhir dengan persetujuan naturalisasi tiga pemain keturunan: Emil Audero (kiper Como 1907), Dean James, dan Joey Pelupessy, yang diharapkan memperkuat Timnas Indonesia pada Kualifikasi Piala Dunia 2026. Program naturalisasi memang telah menjadi strategi PSSI dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan daya saing timnas, terutama setelah kesuksesan pemain seperti Jordi Amat, Sandy Walsh, dan Ragnar Oratmangoen.
Namun, saran Ahmad Dhani menjadi bumbu tersendiri dalam diskusi ini. Sebagian orang menganggap pernyataannya tidak tepat dan mengabaikan esensi sepak bola modern yang mengutamakan keterampilan, bukan penampilan fisik atau latar belakang rasial.